Indonesia dan hukumnya
MediaBengkah.com - “Indonesia adalah negara hukum”,
begitulah isi pasal 1 (3) UUD tahun 1945. Negara hukum yang dimaksud
adalah negara yang dijalankan berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai
landasannya, sehingga apa yang menjadi aktifitas negara tidak diperbolehkan
melanggar ketentuan-ketentuan yang ada. Adapun UUD tahun 1945 sebagai
ketentuan utama yang menjadi dasar dari ketentuan perundang-undangan. Jadi,
tidaklah diperkenankan undang-undang dibawahnya yang bertentangan dan tumpang
tindih dengan UUD tahun 1945.
Hukum di Indonesia merupakan
kolaborasi dari system hukum Eropa, hukum adat dan hukum agama. Sebagian
system yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa
Kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masalalu Indonesia
yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia-Belanda
(Naderlandsch-Indie). Hukum agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia
menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at lebih banyak, terutama di
bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga
berlaku hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi,
yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan
budaya-budaya yang ada di wilayah Indonesia.
Pada masa ini, hukum yang dibuat
oleh kolonial Belanda masih banyak di berlakukan di Indonesia, diantaranya Herziene
Indonesich Reglement (HIR), Wetboek Van Strafrecht (KUHP), Wetboek
Van Koophandel (KUHD) dan Burgerlijke Wetboek (KUHPer). HIR
ini mengatur tentang acara di bidang pidana dan perdata. Dengan berlakunya UU
No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka
pasal-pasal yang mengatur hukum acara pidana dalam HIR dinyatakan tidak
berlaku. Sedangkan KUHP mengatur tentang hukum dibidang pidana materiil, KUHD
mengatur tentang hukum dibidang perniagaan atau perdagangan dan KUHPer mengatur
dibidang keperdataan.
Walaupun demikian hukum kolonial
yang berlaku pada masa ini telah mengalami banyak revisi. Pasal-pasal yang
dirasa merugikan orang bumi putera atau orang Indonesia dan menguntungkan pihak
kolonial telah dihapuskan. Sehingga hukum peninggalan kolonial Belanda yang
berlaku di Indonesia saat ini menjadi netral dan dirasa mampu membawa
keadilan di dalam negeri.
Yang menjadi masalah dengan hukum
dewasa saat ini bukanlah ketentuan warisan kolonial Belanda yang sekarang,
melainkan ketentuan dari UU yang dibuat oleh legislatif dan pemerintah yang
syarat kepentingan. Bahkan dewasa ini beredar isu tak sedap terkait jual beli
UU di DPR, yang sangat berdampak kepada sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan besar adalah, kenapa isu itu
tidak di usut tuntas oleh aparatur penegak hukum ? Apakah penyidik tidak
memperoleh bukti yang kuat atau aparatur penegak hukum itu tadak mempunyai
keberanian untuk mengusut tuntas kasus tersebut, karena ada ancaman di dalamnya
? wallahu’alam
Akhir-akhir ini banyak perkara hukum
yang melibatkan aparatur penegak hukum itu sendiri seperti, simulator sim,
suap-menyuap/gratifikasi terhadap jaksa, hakim dan aparatur hukum lainnya.
Sehingga supremasi hukum dewasa ini menjadi pepesan kosong yang berisikan
harapan-harapan yang tidak jelas. Hukum dirasa seperti karet yang fleksible,
bisa ditarik sana-sini sesuai kebutuhan mereka yang memiliki uang untuknya.
Adapun dampak dari itu adalah memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap mereka
(aparatur penegak hukum) yang seharusnya menjadi contoh untuk memperjuangkan
tegaknya hukum di negeri ini. Akibat masyarakat yang sudah tidak percaya itu
akan membawa dampak pula di lingkungan mereka , sehingga mereka juga enggan
mentaati peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Contoh kecil, melanggar tata
tertib lalu lintas, melakukan tindak kriminal, merusak fasilitas umum dan lain
sebagainya.
Perkara-perkara korupsi berjamaah
yang menjadi trending topic di negara ini juga semakin menjamur. Contoh kecil,
perkara Bank Century yang sudah bertahun-tahun belum rampung, perkara Wisma
Atlet yang pelakunya menggagas “katakan tidak pada korupsi”, perkara Cek
Pelawat, gratifikasi dan lain-lain. Penyebab daripada korupsi yang
semakin menjadi budaya bangsa adalah lemahnya hukuman yang ditimpakan bagi
pelakunya, sehingga tidak ada efek jera bagi para pelaku dan tidak membuat
suatu ketakutan bagi orang yang akan melalukan tindak pidana korupsi.
Andaikan hukuman bagi para koruptor
seperti di China yang menghukum mati koruptor yang merugikan keuangan negara,
mungkin perkara korupsi dapat teratasi dan dapat dipastikan bahwa tidak ada
yang berani melakukan tindak pidana korupsi tersebut.
Dari contoh-contoh perkara yang
melibatkan penegak hukum dan si pembuat hukum itu adalah dosa-dosa besar yang
dilakukan mereka. Dosa-dosa yang membawa kehancuran negeri, dosa-dosa yang
mencoreng nama baik negara Indonesia, sehingga harus segera dilakukan taubatan
nasuha bagi penyelenggara negara (eksekutif) beserta legislatif dan yudikatif sehingga
tidak ada lagi praktik-praktik seperti itu di negeri ini.
Memang, potret hukum di Indonesia
dewasa ini sangatlah buruk, maka keburukan daripada hukum yang ada Indonesia
janganlah menjadi sesuatu yang membuat kita pesimis akan supremasi hukum.
Tetapi jadikanlah realita hukum yang mengalami kemunduran di negara ini menjadi
semangat motivasi kita untuk menjadi pemutus mata rantai yang menegakan hukum
dimasa yang akan datang.
BBC (Blogger Bengkah Community)
Ditulis oleh guna pemenuhan tugas kuliah ASPEK HUKUM TI Oleh :
Nama : Hanendya Panduwinata
Kelas : TI.P.19
NPM : 888740806190113
Dosen : Eko Siswanto, S.Kom, M.Kom
Dosen : Eko Siswanto, S.Kom, M.Kom
Belum ada Komentar untuk "Indonesia dan hukumnya"
Posting Komentar